Senin, November 03, 2008

Janji Hujan pada Pelangi







By: Aiu







Siang menggelincir ke arah barat

Suasana ramai

Aku duduk seorang diri di bangku taman kosong yang membisu. Tak ada teman bicara. Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali berkutat dengan kesepian yang menyiksa, dan menunggu. Ya, menunggu! Ah…, padahal sebetulnya apa yang kutunggu? Hujan? Kedatangannya membawa kebenaran janji? Jika memang benar seperti itu, mungkin aku sudah gila. Hah, yang benar saja. Aku tahu dia sudah tidak mungkin bisa datang. Tidak bisa, ya…tidak mungkin.

Tapi mengapa aku masih bersikeras datang ke tempat ini. Sungguh aku terlalu setia pada kata janji. Prinsipku yang bodoh ini terlalu kuat mempunyai tekad untuk mewujudkan sebuah janji. Tapi untuk apa jika hanya aku saja yang menghampiri tempat ini? Toh, pada akhirnya aku akan mendapati keadaan bahwa janji itu takkan mencapai sesuatu yang nyata.

Keadaan di sekeliling taman ini sungguh kontras dengan keadaan hatiku. Aku seperti bocah SMP yang malu setengah mati karena salah memakai pakaian di pesta kostum ulang tahun temannya. Tapi toh aku tetap tidak beranjak dari sana. Diam. Berkhayal Hujan hadir dan duduk disampingku. Dan selanjutnya bisa kubayangkan di dalam benakku, kami akan bersama – sama mengamati orang – orang di sekitar yang duduk bersantai di rerumputan, lalu kami akan mengomentari seorang nenek – nenek berpakaian terlalu nyentrik yang berdandan menor, atau menertawakan seorang pria yang kelimpungan mengejar wanita yang baru saja menolak lamarannya. Dan......, Oh Tuhanku! Sumpah, sekilas, baru saja aku seperti melihat sekelebat bayangan sosoknya. Hujan. Ya, itu dia, berjalan santai di jalan setapak berkerikil sebelah sana. Memakai jas kuliah dan masih menenteng tas ransel hitam kumal kebangsaannya.

Ah.., tidak, tidak! Mungkin itu hanya orang yang kebetulan mirip, atau pikiranku saja yang berhalusinasi. Ya benar, lihat saja, bayangan itu pun memudar, memudar, lantas hilang. Secepat tarikan napas aku pun tersadar, dia tidak mungkin bisa datang. Tidak bisa, ya…tidak mungkin...

“ Tuhan tidak mungkin memisahkan kita, Iris. Kita ini sudah satu paket.” Kata Hujan suatu ketika aku dan dia masih bersama. Dulu.

“ Satu paket? Memangnya beli cangkir ! jangan ngawur kalau bicara.” Jawabku sambil merengut tidak peduli. Kuteruskan saja pekerjaan rumah yang sejak tadi kuutak – atik. Tapi tanpa kuhiraukan pun dia masih saja mengoceh.

“ Eeh..., malah tidak percaya! Aku Hujan, dan kau pelangi. Pelangi tidak bisa muncul jika tidak hujan, dan hujan.....tidak akan meninggalkan kesan jika tak ada pelangi!” ujarnya dengan yakin.

“ Mengapa aku harus jadi pelangi?” aku mengerutkan kening.

“ Karena kau memang pelangi!” jawab Hujan.

“ Kau sinting!” Ya, dia memang sinting. Lihatlah tingkah gilanya sekarang, dia melemparkan kamus bahasa inggris setebal kulit badak di atas pekerjaan rumahku. Aku melotot,siap menyemprotkan serentetan kemarahan, dan sebelum aku sempat memprotesnya, dia sudah menjawab,

“ Kau ini aneh, nama seindah itu kau tidak tahu artinya, sekarang lihatlah di kamus, biar tidak percuma orang tuamu mengarang nama yang bagus untuk anaknya!” Hujan pun beranjak pergi.

Aku hanya tersenyum masam jika mengingat hal itu. Aku juga heran, mengapa Tuhan menakdirkan aku bertemu dengannya, menuliskan sebuah kisah cinta yang indah dan penuh kenangan tentang aku dan Hujan pada buku takdirnya, tapi menghendaki ada kata perpisahan di akhir cerita yang Tuhan tulis. Tidakkah Tuhan tahu aku menjadi orang yang hancur dalam kesendirian pada takdir yang Dia rencanakan?

Tuhanku...., seandainya Kau biarkan dia hidup lebih lama satu hari. Cukup satu hari saja, Tuhan. Biar ia mati saat ini juga. Biar ia mati di tempat ia ingin menepati janjinya. Disini, dipangkuanku, di antara rerebahan rumput – rumput yang menunduk lesu, merindukan detak – detak pedang gerimis turun dari langit.


Suasana taman semakin ramai. Hatiku pun semakin kalut berderai - derai. Semakin banyak orang berdatangan. Jiwaku pun semakin gelisah tak karuan.Oh tidak, Tuhan! Jangan, jangan biarkan aku menumpahkan air mata di tempat ini. Jangan biarkan aku menangis di depan orang – orang ini!

Tapi tampaknya otak dan hatiku kini tak sejalan. Air mataku pun menggenang di ambang pelupuk mataku. Segera kubenamkan kepalaku ke lutut, dan tanpa kusadari air matakupun tumpah ruah tak terbendung lagi. Jiwa kuat dan tegar yang sudah kubangun semenjak tadi seolah musnah sudah. Didera kesedihan dan kepedihan yang begitu menyengat. Rasanya begitu sakit hingga menusuk – nusuk sisi terdalam lubuk hatiku yang diliputi kegelapan pekat. Dan disaat keterpurukan melanda, kenangan indah yang tak ingin kuingat - ingat itu justru datang bertubi – tubi. Semakin kutepis, semakin jelas ia tergambar di benakku.

“ Berapa lama menurutmu kau sanggup mencintai aku, Iris?” tanya Hujan sesaat sebelum kepergiannya dua tahun yang lalu.

“ Apa maksudmu? Apa kau sudah gila? Tentu saja selamanya!” dari luar aku memang terlihat kesal, marah, uring – uringan. Kesal karena dia meragukan perasaanku untuk yang kesekian kali. Marah karena dia akan pergi jauh meninggalkanku. Uring – uringan karena bingung memikirkan kapan akan bertemu lagi. Tapi dalam hati sebetulnya aku sangat sedih. Ah..., betapa egoisnya manusia. Seharusnya aku senang, ikut bahagia, dan bangga. Bagaimana tidak, kekasihku akan menuntut ilmu di kota besar. Di sebuah perguruan tinggi yang modern, megah,mentereng, dipenuhi manusia – manusia cerdas berkualitas tinggi yang sama dengannya. Yah..., di kota yang besar, yang gemerlap, yang mewah, dan jauh...

“ Tapi sebentar lagi aku akan meninggalkanmu!Belum tentu aku sanggup setia padamu seperti kau setia padaku!” aku tidak menjawab, hanya kutepiskan dengan kasar tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku. Kutinggalkan dia sambil memberengut.

“ Hei, hei, tunggu! Begitu saja cemberut, aku kan cuma tanya?”

“ Buat apa ditanyakan lagi? Biar saja jarak memisahkan raga kita, asal jangan hati kita. Aku yakin, ragamu saja yang pergi, sampai disana kamu akan sadar, hatimu tetap ada di sini, lagipula aku yakin Tuhan sayang padaku, Dia yang akan menjagamu untukku!”

“ Begitu ya? Hhehehee........

“ Kenapa tertawa?”

“ Kalau aku selingkuh, bagaimana?”

“ Kau bisa kualat!”

“ Kualat apa?”

“ Belum pernah dengar, ada orang tidak setia mati dimakan serigala?”

“ Hehehehe...”

“ Kenapa tertawa lagi?”

“ Kamu manis sekali sih?”

“ Aaaaarrrrgggghhh.....Hujjaaannn...! kamu jahat!” kupukuli dadanya dengan sekuat tenagaku. Hujan memang seperti itu. Tidak bisa diajak serius. Tidak romantis. Selalu menggoda jika aku kelewat serius. Entah apa yang membuatku mempunyai perasaan yang sangat dalam seperti ini kepadanya.

“ Baiklah., baiklah Nona Bawel! Mana mungkin aku bisa selingkuh, punya pacar satu yang modelnya seperti kamu saja sudah susah, apalagi menambah satu lagi.”

“ Kurang ajar!”

“ Ada satu hal yang harus kau ingat, jika memang benar kau sanggup menjaga kesetiaanmu padaku, tanggal 28 Februari dua tahun lagi aku akan mengajakmu pergi ke tempat kenangan kita dua tahun yang lalu, masih ingat kan?”

“ Tempat kenangan kita? Mengapa harus disana? Mengapa harus dua tahun lagi?” tanyaku bingung.

“ Itu ujian kesabaran untukmu, Sayang, tunggu aku ya!” jawabnya sebelum naik ke Kapal Feri yang sebentar lagi akan berangkat. Dia menoleh, memberikan senyum manisnya, sebelum aku tak dapat melihatnya lagi.

Sekarang aku sudah ada di tempat ini, Hujan...! sekarang aku sudah dapat membuktikan kepadamu bahwa cinta itu masih belum pudar. Tapi mengapa malah kau yang tidak datang?

Hhh......, Hujan, Hujan! Tega sekali kau, kau tahu aku tidak suka keramaian. Kau tahu aku benci duduk seorang diri seperti ini di tengah orang – orang banyak. Tapi kau yang membuatku berada dalam keadaan seperti ini. Kau sengaja membuatku merasakan ketidaknyamanan yang kubenci seperti saat ini. Tapi, benarkah ini semua kausengaja, Hujan? Jika ya, mungkin saat ini kau sedang menertawaiku dengan puas dari atas sana. Kau puas sudah mengusiliku lagi, seperti saat dulu kita masih bersama. Tapi apakah kau masih bisa tertawa saat ini?

Malam itu seluruh anggota keluarga menunggu kepulangannya. Begitu pula aku. Rumah kami memang bersebelahan, kami sudah menjadi tetangga semenjak aku masih kecil. Hatiku yang meluap penuh debar kegembiraan bercampur kerinduan kembali surut tatkala hingga pagi hari ia belum juga muncul. Sia – sia aku menajamkan telinga kalau – kalau kudengar ada angkutan umum berhenti di depan rumahnya, lalu sosok yang kurindukan itu akan muncul dengan senyum khasnya.

Tapi semua anganku itu tidak terwujud. Kata orang tuanya, Hujan belum pulang. Kemana saja anak bandel tukang usil itu? Apa mungkin terjadi sesuatu di jalan? Tersesatkah? Ah..., tidak mungkin, Hujan orang yang cerdas, mana mungkin dia tidak tahu jalan pulang, Lantas, mengapa ia belum pulang juga? Apa ia hanya berbohong? Mengusili orang lagi seperti biasanya?

Dan pertanyaan yang bertumpuk – tumpuk ini baru menemukan jawabannya ketika hari beranjak siang. Sebuah mobil ambulans diikuti beberapa mobil polisi berhenti di depan rumah kami. Keluargaku dan keluarga Hujan serentak tersadar dari lamunan dan beranjak dari tempat duduk. Sementara aku yang dilanda firasat buruk hanya terhenyak gemetar di kursiku.

Kulihat beberapa orang polisi berbicara dengan Ayah dan Ibu Hujan, sementara beberapa pria berseragam putih membuka pintu ambulans dan mengeluarkan sebuah peti tertutup kain putih.

Mengapa? Mengapa mereka mengantarkan peti kemari? Siapa yang ada di dalam peti itu? Entah mengapa hatiku makin menggelepar dilanda kegelisahan yang pahit.

Tak lama kemudian kulihat ibu Hujan berlari menerjang peti tersebut, ia menangis dengan histeris. Sementara ayah Hujan limbung ke tembok, wajahnya pucat pasi, tapi ia cepat menguasai keadaan. Tak lama kemudian dia pun pergi dengan salah satu mobil polisi yang ada di depan.

“ Huuujjjaaannnn......., Aaaarrrggghhh....., Huuujaaaannn....anakkkuuu..., mengapa kau jadi begini, Nak? Bukan seperti ini Ibu ingin melihat kau pulang! Ya Allah Gusti Pangeran....., nyuwun pangapura, Gusti, mengapa begini? Jangan tinggalkan Ibu, Nak....!” Tangis histeris Ibu Hujan yang sangat menyayat itu bagaikan sebongkah batu besar yang menimpa kepalaku saat itu. Dalam hatiku, dalam kepalaku, dalam tubuhku, seperti ada badai besar yang memporak – porandakan seluruh isinya.

Hujan..., Hujan..., tidak mungkin..., tidak mungkin....

Tak lama kemudian ibuku masuk menghampiriku. Matanya basah, wajahnya terlihat sangat terpukul.

“ Bu....

“ Iris, Hujan sudah pergi.” Ujarnya.

“ Pergi....pergi kemana, Bu? Disini rumahnya, dia pasti kembali kemari, kan? kemana Hujan, Bu? Kemana?” air mataku meleleh, dadaku yang sesak sudah tak mampu lagi menahan. Benda – benda di hadapanku mulai mengabur dalam penglihatanku. Ibu menggenggam tanganku erat.

“ Dia sudah ndak ada, Nak.” Lalu Ibu memelukku. Kami menangis bersama dalam suasana haru. Tapi bukan hanya haru yang kurasakan. Aku mendapati hatiku hancur menjadi kepingan – kepingan kecil tak berbentuk. Aku marah. Sedih. Kecewa. Sekaligus tidak percaya.

Seperti inikah kepulangan yang dijanjikan Hujan? Pulang, tapi untuk pergi selama – lamanya. Mengapa?

Hanya Ayah Hujan yang bisa menjawabnya, ia tiba kembali di rumah beberapa saat kemudian bersama lelaki berumur tiga puluhan juga beberapa orang polisi. Menurut mereka, lelaki itu adalah saksi yang mengetahui bagaimana persisnya musibah yang menimpa Hujan. Ayah Hujan sebetulnya sudah tahu bagaimana persisnya kematian Hujan, dia sudah mendengarkan penjelasannya tadi di kantor polisi, tapi dia merasa tidak sanggup menceritakan kepada keluarganya, terutama istrinya. Maka itulah ia meminta lelaki itu untuk datang ke rumah. Setelah dipersilahkan duduk di ruang tamu, dia pun mulai menceritakan apa yang telah dilihatnya.

Menurut saksi tersebut, Hujan memang pulang. Dia berangkat dari terminal, menaiki bis yang memang akan melewati kotanya. Lelaki tersebut juga menaiki bis yang sama dengan Hujan, bersama istri dan dua orang anaknya. Dan semua baik – baik saja hingga saat tengah malam, 2 orang yang kelihatan seperti penumpang bis biasa tiba – tiba berdiri dan menodong seisi bis. Yang seorang membawa senjata api, yang satu lagi menghunus sebilah golok tajam mengkilap, yang kelihatannya bisa melepaskan sebuah kepala dari badan seseorang dengan sekali tebas.

Semua pasrah, tak berani melawan. Mereka lebih merelakan harta mereka yang hilang daripada harus mati sia –sia. Begitu pula Hujan, kata saksi tersebut, Hujan diam saja ketika dompet, handphone, dan seperangkat laptopnya dirampas sekawanan perampok kejam tersebut. Gerak – geriknya menunjukkan perdamaian. Tapi Hujan tidak terima saat seorang dari perampok tersebut menjambak – jambak rambut seorang nenek karena tidak memberikan uangnya. Mungkin saat itu Hujan berpikir, nenek itu memang tidak punya sesuatu untuk diberikan kepada perampok.

“ Waktu itu suasananya sungguh menakutkan, tapi anak muda itu sungguh berani, dia mendorong perampok itu, ‘ Jangan memaksa orang tua kalau memang tidak punya, rampok saja orang lain yang bisa memberimu uang!’ begitu katanya, Pak, Bu! Saya jadi terharu kalau ingat itu, padahal saya sendiri sudah gemetar di tempat duduk, takut anak istri saya kena peluru nyasar, jadi lebih baik diam saja...” ujar Bapak itu.

Aku mendengarkannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Marah. Tidak terima. Sekaligus bangga. Setidaknya Hujan sempat melakukan perbuatan yang amat mulia di penghujung hidupnya.

“ Lantas..., perampok – perampok itu marah Pak, Bu! Mereka merasa terganggu oleh seorang pahlawan kesiangan. Lalu terjadilah pertengkaran dua lawan satu, jelas saja bukan perkelahian yang imbang, apalagi mereka bersenjata. Lalu...., mereka menyeret Almarhum Nak Hujan ke dekat pintu Bis, ‘Cepat buka pintu bisnya!’, kata mereka waktu itu, mereka memaksa kondektur bis untuk membukakan pintu, saya kira mereka mau turun karena sudah selesai merampok, ternyata Pak.....Ternyata Bu...., anak Anda dilemparkan dari atas bis....” Bapak itu tak dapat melanjutkan ceritanya, suaranya bergetar dan matanya berkaca – kaca. Rupanya suasana haru dan sedih di ruangan itu juga merasuki perasaannya. Bapak Hujan hanya menunduk menahan pahit yang dirasakannya. Sementara ibu Hujan sudah menangis lagi dengan histeris.

“ Sebetulnya kalau bisa, saya ingin sekali turun untuk menolong anak Anda Pak , Bu! Tapi keadaan memang tidak menguntungkan. Sepanjang sisa perjalanan itu, perampok – perampok laknat yang kejam itu terus saja menodongkan senjatanya ke leher kami, jadi saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya pada anak Anda.” Bapak itu mengakhiri ceritanya.

Jadi Hujan meninggal karena dijatuhkan dari bis yang dinaikinya. Tapi apa mungkin...? jika memang seperti itu, mengapa jasad Hujan hancur berantakan seperti habis dicincang? Separah itukah jika hanya terjatuh?

“ Nah..., itu tugas kami dari kepolisisan untuk memberikan penjelasan, Ibu....” seorang polisi berwajah sabar dan ramah mencoba memberi pengertian kepada Ibu Hujan.

“ Kami dari kepolisian sudah menyelidiki TKP, tempat Saudara Almarhum Hujan jatuh. Di tepi jalan yang dilalui bis tersebut memang berupa hutan dan semak belukar. Disanalah jasadnya ditemukan dalam keadaan hancur, memang tidak mungkin seperti itu jika hanya didorong dari atas bis, karena itulah kami menduga ada penyebab lain. Ternyata benar...., disekitar tempat jasadnya kami temukan banyak sekali jejak – jejak kaki serigala..........

Kalimat – kalimat dari polisi tersebut selanjutnya sudah tak mampu kucerna lagi. Berbagai bayangan tentang kematian Hujan berkelebat di kepalaku. Jadi seperti itu....? Saat dijatuhkan dari atas bis, tubuhnya yang sudah tidak berdaya jatuh berguling – guling hingga masuk ke pinggiran hutan yang ada di tepi jalan. Ya, Hujan memang terlepas dari kekejaman perampok di bis itu. Tapi dia tidak sadar, ada bahaya lain yang mengintainya. Bahaya yang lebih besar. Bahaya yang dapat merenggut jiwanya.

Sepasang mata tajam mengkilat mengintip dari balik semak – semak. Napasnya mendengus – dengus dengan rakus. Langkahnya samar – samar berkelebat di kegelapan. Dan sungguh tak pernah kubayangkan, itulah malaikat pencabut nyawa yang merenggut jiwa Hujan...



Mengapa harus dengan cara itu Kau cabut nyawanya,Tuhan....? mengapa orang sebaik dia harus mati dengan sedemikian tragis? Tangannya tinggal tulang belulang, isi perutnya terburai, matanya hilang, mata yang dulu pernah kusukai karena selalu melirik dengan jenaka, dan tubuh itu, sekujur tubuh itu berlumur darah dan tanah....

Oh..., mengapa dia harus menderita begitu berat menjelang kematiannya ?

Apakah ini karma? Lapat – lapat anganku memutar balik ke masa lalu

“ Kalau aku selingkuh, bagaimana?”

“ Kau bisa kualat!”

“ Kualat apa?”

“ Belum pernah dengar, ada orang tidak setia mati dimakan serigala?”


Senja mulai menarik keremangannya dari taman. Selubung warna hitam mulai menyelimuti pepohonan dan bunga – bunga. Tidak ada lagi keramaian itu. Tidak ada lagi orang – orang berkumpul menikmati indahnya taman. Semua seolah mengikuti langkah mentari kembali ke peraduan mereka. Yang tinggal hanyalah pendar – pendar cahaya kunang – kunang yang menari di semak – semak. Dan aku, yang terus akan mengenang Hujanku, yang pergi diterbangkan angin, ke tempat yang jauh......




TAMAT


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice blog...